Sejarah Suksesi di Pura Mangkunegaran
Pada 14–15 Agustus lalu, saya ditugaskan ke Solo, Jawa Tengah, untuk meliput meninggalnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara IX. Mangkatnya Mangkunegara IX dianggap sebagai peristiwa yang layak diberitakan karena dia merupakan pemimpin tertinggi di Pura Mangkunegaran, satu dari empat kerajaan pecahan Mataram Islam.
Solo sebenarnya bukan area liputan saya sehari-hari. Namun, karena wartawan Kompas di Solo Raya, Nino Citra Anugrahanto, sedang ada keperluan yang tak bisa ditinggalkan, saya pun ditugaskan untuk meliput ke kota tersebut selama dua hari.
Mangkunegara IX wafat di Jakarta pada Jumat dini hari, 13 Agustus 2021. Jenazahnya kemudian dibawa ke Solo dan sampai di Pura Mangkunegaran pada Jumat sore. Pada hari Jumat, saya masih berada di Yogyakarta sehingga belum mulai meliput peristiwa meninggalnya Mangkunegara IX. Berita awal dan tulisan obituari Mangkunegara IX masih dibuat oleh Nino.
Saya baru mulai meliput di Mangkunegaran pada Sabtu pagi. Saat itu, jenazah Mangkunegara IX masih disemayamkan di Ndalem Ageng Pura Mangkunegaran. Jenazah saat adipati baru dimakamkan pada Minggu siang di Astana Girilayu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Selama dua hari liputan di Mangkunegaran, fokus saya tak lagi soal peristiwa meninggalnya Mangkunegara IX. Saya lebih berfokus membuat tulisan untuk menggambarkan tentang kemungkinan siapa yang akan menggantikan Mangkunegara IX.
Seperti sudah banyak ditulis oleh media, Mangkunegara IX memiliki dua anak lelaki dari dua istri berbeda, yakni Gusti Pangeran Haryo (GPH) Paundrakarna Jiwa Suryanegara dan GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Banyak orang berpikir, pengganti Mangkunegara IX pastilah salah satu dari dua anak lelaki itu.
Namun, jika melihat sejarah suksesi yang pernah terjadi di Pura Mangkunegaran, mencari jawaban tentang siapa yang akan menggantikan Mangkunegara IX ternyata tidaklah sederhana. Sebab, sejak berdiri tahun 1757, Pura Mangkunegaran tidak memiliki satu pola suksesi yang baku.
Selama lebih dari 260 tahun kerajaan itu berdiri, takhta adipati di Pura Mangkunegaran tidak selalu diwariskan dari ayah ke anak seperti pola umum pada kerajaan Islam Jawa. Saat saya meneliti lebih dalam sejarah suksesi di Mangkunegaran, ternyata takhta adipati di kerajaan itu pernah diwariskan ke cucu, adik kandung, adik sepupu, dan keponakan dari adipati sebelumnya.
Saking rumitnya pola suksesi di kerajaan itu, saya sampai kesulitan saat harus membuat penjelasan tentang relasi masing-masing adipati di Mangkunegaran dengan adipati sebelumnya. Salah satu contohnya, Mangkunegara II ternyata bukanlah anak, melainkan cucu, dari Mangkunegara I.
Sementara itu, Mangkunegara III juga merupakan cucu dari Mangkunegara II. Namun, Mangkunegara IV bukanlah cucu dan juga bukan anak dari Mangkunegara III. Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Gandakusuma yang kemudian menyandang gelar Mangkunegara IV adalah cucu Mangkunegara II.
Selain itu, Mangkunegara IV juga merupakan adik sepupu dari Mangkunegara III. Namun, setelah naik takhta, Mangkunegara IV juga menikahi salah seorang anak perempuan sehingga dia juga bisa dianggap sebagai menantu dari Mangkunegara III.
Karena begitu beragamnya pola suksesi di Mangkunegaran, saya lalu membuat infografik yang berisi profil singkat setiap adipati yang pernah memimpin kerajaan tersebut. Infografik itu sangat sederhana karena hanya mencantumkan beberapa informasi dari tiap adipati, misalnya nama setelah naik tahkta, masa pemerintahan, nama lahir atau nama muda, serta relasi atau hubungan keluarga dengan adipati sebelumnya.
Informasi soal hubungan keluarga itu saya anggap penting untuk memudahkan pembaca memahami pola suksesi yang terjadi di Mangkunegaran. Informasi-informasi soal setiap adipati itu saya dapatkan dari website resmi Pura Mangkunegaran.
Selain itu, saya juga mewawancarai sejarawan Heri Priyatmoko untuk menguatkan informasi yang saya dapatkan. Untuk memudahkan saya, Heri juga mengirim foto berisi tulisan tangannya yang menerangkan hubungan setiap adipati di Mangkunegaran dengan adipati sebelumnya.
Untuk membuat infografik itu, saya memakai cards template dari Flourish Studio. Template itu sangat memudahkan saya yang tak punya kemampuan desain untuk membuat sebuah infografik sederhana.
Setelah infografik itu jadi, saya awalnya berencana menempelkannya ke tulisan saya yang berjudul “Melepas Mangkunegara IX, Menanti Sosok Penggantinya” di Kompas.id. Namun, karena masalah teknis, infografik tersebut tak jadi dimuat di Kompas.id. Oleh karena itu, saya pun menampilkan infografik berjudul “Mangkunegara dari Masa ke Masa” itu di tulisan ini.
Dalam infografik tersebut, Anda bisa menemukan hubungan seorang adipati di Mangkunegaran dengan adipati-adipati sebelumnya. Di bawah judul infografik, Anda juga bisa menemukan filter untuk menyeleksi adipati berdasarkan hubungan dengan adipati yang digantikannya.
Sebagai catatan, filter tersebut hanya khusus menjelaskan hubungan adipati yang berurutan, misalnya Mangkunegara IV dengan Mangkunegara III. Melalui filter tersebut, bisa diketahui berapa banyak takhta adipati yang diwariskan ke anak, adik, sepupu, atau keponakan dari adipati sebelumnya.
Sebagai visualisasi sederhana yang dibuat oleh seorang amatir, infografik tersebut tentu memiliki banyak keterbatasan. Apalagi, banyak hal yang belum benar-benar jelas dalam sejarah suksesi di Pura Mangkunegaran. Misalnya, kenapa pola suksesi di Mangkunegaran menjadi begitu beragam? Faktor apa saja yang menyebabkan hal itu? Lalu, siapakah yang akan menggantikan Mangkunegara IX?